Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini telah membiayai 5.383 kegiatan penelitian melalui hibah bersaing, hibah fundamental, dan berbagai hibah lainnya. Dijanjikan hasil penelitian itu akan diterbitkan dalam jurnal terakreditasi dan forum internasional. Namun janji tersebut jarang terpenuhi, kalaupun ada publikasi hanya dua persen setiap tahun (Rifai, 2009).
UNGKAPAN Prof Mien A Rifai itu memberikan kesan betapa miskin sumbangsih para ilmuwan dan pandit Indonesia dalam menambah khasanah pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni melalui artikel ilmiah. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah ini kodrat karya ilmiah dosen/peneliti di Indonesia? Atau memang dosen kita miskin dalam budaya menulis?
Kenyataan ini bercerita banyak untuk menjelaskan pelbagai kejanggalan yang kerapkali tersaksikan dalam kehidupan kecendekiaan bangsa kita sehari-hari. Kiranya perlu dipikirkan bagaimana mengatasi dan membangkitkan keterpurukan kerja intelektual dosen dalam menulis artikel ilmiah.
Ini problem klasik yang juga tak gampang untuk dipecahkan, di mana notabene dosen dan kesehariannya berkutat dalam kubangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan untuk menulis artikel ilmiah.
Mempersoalkan kodrat artikel ilmiah dan miskinnya budaya menulis dosen adalah sisi gelap dunia pendidikan tinggi kita. Cekaknya kemampuan menulis artikel ilmiah para dosen lebih banyak disebabkan faktor internal dengan 1001 macam alasan sebagai pembantahannya. Tak cukup ruang dan waktu untuk membahas ribuan alasan yang biasa dijadikan pembenaran disini.
Akar Masalah Akar masalah utama keterpurukan kerja intelektual dosen dalam menulis artikel ilmiah sangat bertumpu pada dua hal. Pertama, rendahnya budaya membaca artikel jurnal ilmiah. Hal ini tercermin dari tingkat keberaksaraan informasi atau information literacy masyarakat Indonesia yang masih menduduki peringkat kelima dari bawah dunia.
Menurunnya minat baca disebabkan oleh besarnya daya tarik ’’magnet’’ tontonan media elektronik, yang pada akhirnya membuat kemauan mencari informasi baru tidak berkembang.
Secara tidak langsung, dampaknya terlihat para ilmuwan menjadi tak punya rangsangan untuk mengembangkan pola pikir alternatif secara konseptual, seleluasanya. Keinginan berprakarsa tidak tertantang, bahkan mungkin termatikan.
Bayangkan, berapa banyak artikel jurnal ilmiah yang dibaca seorang dosen dalam sebulan, seminggu atau sehari? Umumnya dosen lebih banyak membedah buku teks daripada jurnal ilmiah dalam proses pembelajaran. Itu pun kalau buku teksnya tidak usang.
Padahal bila ditinjau dari segi perkembangan keilmuan, jurnal ilmiah lebih variatif, pembahasan lebih luas dan dalam, serta up to date atau kekinian.
Artikel jurnal ilmiah sangat besar delta sumbangannya dalam perluasan khasanah proses pembelajaran dan pemahaman keilmuan dosen sesuai kepakarannya.
Kedua, kurangnya latihan menulis artikel ilmiah.
Latihan menulis membutuhkan praktik langsung dan terus belajar dari pengalaman. Tanpa ada budaya menulis, keilmuan seseorang tidak pernah akan diakui atau dikenal oleh dunia akademik dan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, hadiah Nobel hanya diberikan kepada ilmuwan dan pandit yang telah mempublikasikan hasil penelitiannya. Penelitian tanpa publikasi adalah omong kosong, karena ilmu pengetahuan tidak akan berkembang.†
Ilmuwan terkemuka Isaac Newton pun pernah mengatakan, temuan-temuannya tak bisa berdiri tanpa ada orang-orang terdahulu yang telah membangun peradaban dengan menulis.
Sebenarnya pihak universitas sudah mencermati permasalahan budaya menulis ini, yang mana rata-rata publikasi dosen sangat kecil, baik per semester maupun per tahun. Perguruan tinggi selalu meningkatkan dengan mengadakan pelatihan penulisan artikel ilmiah.
Namun api semangat menulis sering muncul hanya saat melakukan kegiatan pelatihan dan beban kenaikan pangkat saja. Setelah itu, semangat menulis pun padam. Pelatihan menulis akhirnya hanya jatuh untuk kredit poin saja.
Budaya Belajar Suatu kenistaan apabila dosen yang senantiasa menyuruh mahasiswanya untuk senantiasa terus belajar agar mumpuni di bidangnya, namun dia sendiri tidak melakukannya.
Budaya belajar dosen yang mencakup membaca dan lebih penting lagi menulis artikel ilmiah hingga kini belum menjadi tanggung jawab moral, hak, dan kewajibannya.
Ia juga belum menjadi tuntutan kode etik sebagai dosen atau ilmuwan terhadap masyarakatnya, disiplin ilmunya, profesi ilmiahnya, sejawat dan kliennya, pemangku amanat kepentingan (stakeholders), maupun terhadap lingkungan hidupnya.
Dosen di Indonesia masih sangat beruntung, karena ungkapan publish or perish (terbitkan atau minggirlah) tidak menjadi ketentuan yuridis seperti di Amerika Serikat.
Bayangkan kalau ungkapan ini diterapkan, tinggal berapa dosen di Indonesia?
Untuk memulai meningkatkan budaya menulis, tidak lain harus menggiatkan budaya membaca. Kegiatan ini merupakan faktor kunci dalam menulis. Ilmuwan besar pun tidak dapat berbuat banyak apabila tidak membaca berbagai macam literatur sehubungan dengan materi yang ditulisnya.
Kegiatan membaca tidak hanya sekadar penguasaan informasi saja, namun memeroleh penguasaan sarana menemukan masalah, dan melatih pisau analisis yang tajam dari berbagai sudut pandang, serta gaya bahasa kepenulisan yang informatif.
Budaya menulis sesungguhnya juga output atau hasil dari membaca.
Membaca adalah input (masukan) kognitif dan afektif (pemikiran dan perasaan) yang merangsang otak untuk berpikir.
Makin banyak membaca, seorang dosen otomatis bergerak untuk menuliskan pemikiran yang muncul dari hasil input membacanya. Namun budaya belajar bagi dosen tidak dapat dipaksakan, semuanya berpulang kepada tanggung jawab moral dosen masing-masing.
Aneka penghargaan dari Dikti akan karya ilmiah yang telah dilakukan dan dipublikasikan seorang dosen, pada dasarnya hanya merupakan wahana agar budaya menulis terus membahana dan berjejak di perguruan tinggi.
Harapan besar di balik kemampuan dosen dalam menulis artikel ilmiah adalah memperkokoh eksistensi lembaga yang dinaunginya, baik dalam peningkatan akreditasi program studi, universitas dan pengakuan internasional. (32)
—Taufik Budhi Pramono, staf pengajar Budidaya Perairan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment