Berbicara mengenai pendidikan Indonesia adalah pekerjaan yang tiada habisnya, penuh ketidakjelasan dan kerumitan. Bila budaya asing telah sedemikian merasuk dalam kepribadian bangsa Indonesia sehingga lunturlah nilai-nilai luhur bangsa, maka dalam dunia pendidikan pun tidak jauh berbeda.. Saat ini apa yang tidak menjiplak dan mengadopsi produk asing?
Mulai dari penamaan jenjang, yang SMP tidak ada lagi kelas 1, 2, dan 3, tapi telah berubah menjadi kelas 7, 8, dan 9. Begitu juga di SMA menjadi kelas 10, 11, dan 12. Yang paling trend saat ini adalah penyediaan kelas-kelas bertaraf internasional dengan alasan untuk mencetak lulusan-lulusan yang memiliki kapasitas internasional. Sementara indikator lulusan berkapasitas internasional pun tidak jelas.
Banyak sekolah terjebak pada mengejar pengakuan internasional. Dengan menyediakan satu-dua kelas khusus yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar, mereka tampak percaya diri mengklaim sebagai sekolah bertaraf internasional. Mengejar predikat bertaraf internasional menjadi ambisi yang mengorbankan anak-anak didik, orang tua siswa, maupun guru pengajar sendiri.
Secara mental anak dituntut memahami pelajaran dalam bahasa yang tidak terlalu mereka mengerti. ‘’Diajarkan dalam bahasa ibu saja belum tentu paham, apalagi dalam bahasa planet’’, komentar salah satu siswa. Tidak dapat dipungkiri, kondisi ini menambah beban siswa dalam belajar. Kesulitan bahasa menyebabkan kesulitan berkomunikasi, akibat yang fatal apabila akhirnya substansi yang seharusnya dipahami gagal tersampaikan hanya karena mengejar gengsi.
Masuk menjadi penghuni kelas bertaraf internasional berarti merogoh kantong lebih dalam. Sementara kantong orang tua dari siswa-siswa pintar, yang umumnya justru berasal dari kalangan kurang mampu, tidak selalu ada isinya. Biaya SPP, buku, dan fasilitas bisa berkali-kali lipat dibanding kelas biasa. Lagi-lagi orang tua siswa harus mengurut dada setiap kali anaknya pulang membawa tagihan. Kualitas tidak jauh berbeda, pemborosan materi luar biasa. Mungkin ada rasa bangga pada orang tua yang anaknya menjadi ëkorbaní kelas internasional. Namun, bila malah membebani pikiran anak maupun orang tua, rasanya pilihan ini terlalu memaksakan.
Banyak guru mengejar kursus penguasaan bahasa inggris di tengah hiruk pikuk hidupnya. Kegiatan belajar yang biasa guru bawakan dengan lancar dan percaya diri, tiba-tiba harus merasa grogi berdiri di depan muridnya sendiriókarena bisa jadi muridnya terlalu sering menyela hanya gara-gara salah grammar-nya.
Apa yang diutarakan di atas hanyalah sekelumit gambaran sebuah negeri yang kehilangan kepercayaan diri terhadap jati diri yang dimilikinya. Inti dari kewibawaan dan harga diri selain pada kebenaran sebuah keyakinan adalah pada konsistensi memegang keyakinan tersebut. Yakinkah kita dengan sistem pendidikan yang saat ini kita perjuangkan? Wallahu aílam.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment