SOLO (Suara Karya): Program sertifikasi guru model portofolio seperti diterapkan saat ini, ternyata tak menjamin kualitas kompetensinya. Hasil kajian yang dilakukan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2008 menunjukkan, meski lolos sertifikasi, nilai kompetensi guru rata-rata di angka kisaran 52-64 persen. Bahkan, tak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun.
"Ini tantangan terbesar yang dihadapi Ditjen PMPTK, bagaimana meningkatkan nilai kompetensi guru-guru yang telah lolos sertifikasi," kata Dirjen PMPTK, Depdiknas Prof Dr Baedhowi dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/11).
Hasil kajian itu sebenarnya tak terlalu aneh jika mengetahui motivasi para guru yang mengikuti program sertifikasi, yang hampir 98 persen menyatakan semata demi finansial. "Satu hal yang harus kita lakukan adalah mengubah mindset guru bahwa sertifikasi harus dilihat sebagai upaya untuk mengukur dan meningkatkan kompetensi mereka, tak semata-mata disikapi sebagai upaya memperoleh peningkatan kesejahteraan," ucap Baedhowi menegaskan.
Selain itu, lanjut Baedhowi, pihaknya akan terus mendorong para guru untuk meningkatkan kompetensi pasca sertifikasi. Kedua paradigma berpikir guru itu sebenarnya harus ditanamkan pada guru jauh sebelum proses sertifikasi agar tidak terjadi rekayasa yang tidak dibenarkan.
Baedhowi menjelaskan, kompetensi yang dinilai pada kajian itu, antara lain, kompetensi pedagogik yang terkait dengan kemampuan mengajar, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Rata-rata nilai untuk kompetensi pedagogik para guru yang lolos sertifikasi sebesar 54,33 persen, nilai kompetensi kepribadian 52, 37 persen, kompetensi profesional 64,36 persen dan kompetensi sosial sebesar 53,92 persen.
"Kenyataan ini menunjukkan proses sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru. Bahkan meski mereka telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti mereka telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," katanya.
Kondisi itu terlihat sangat wajar jika melihat latar belakang pendidikan guru. Baedhowi menyebutkan dari sekitar 2,6 juta guru pegawai negeri sipil (PNS), baru sekitar 40 persen yang memiliki kualifikasi pendidikan diploma 4 atau sarjana (S-1). Sedangkan sisanya sebanyak 60 persen memiliki kualifikasi dibawah D-4 atau S-1.
"Pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk program beasiswa bagi para guru yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya hingga S-1. Namun, karena jumlah yang perlu dibantu sangat banyak, prosesnya dilakukan secara bertahap karena keterbatasan dana pemerintah," tuturnya.
Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional dan kompeten pasca sertifikasi, menurut mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Bidang Pengembangan Kurikulum dan Media Pendidikan, adalah lewat Program Peningkatan Profesionalisme Berkesinambungan (Continuous Professional Development/CPD). Program tersebut telah diterapkan banyak negara maju dan berkembang, dan diyakini cukup efektif dalam memelihara dan meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru. (Endang Kusumastuti/Tri Wahyuni)
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
Friday, November 13, 2009
Sertifikasi Guru Tak Jamin Peningkatan Kompetensi
Diposkan oleh
Jumadil A, S.Pd
di
1:27 AM
Label: Kompetensi, Peningkatan, Sertifikasi Guru, Tak Jamin
Label: Kompetensi, Peningkatan, Sertifikasi Guru, Tak Jamin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment