PERSPEKTIF tentang rumusan mutu pendidikan yang akan saya bahas dalam artikel ini sesungguhnya berangkat dari best practice yang saya alami selama 17 tahun masa pengabdian sebagai guru. Memang sangat sulit untuk mengurai, dari mana persoalan peningkatan mutu pendidikan itu harus kita mulai. Apalagi jika mutu pendidikan itu dibebankan secara praksis kepada setiap sekolah, pandangan tentang mutu tentulah sangat beragam, karena lokasi dan situasi masing-masing sekolah sangat berbeda. Sekolah tertentu akan berasumsi bahwa persoalan mutu pendidikan harus dimulai dari guru. Sekolah lain beranggapan persoalan mutu harus dimulai dari input, baik siswa maupun gurunya. Selain itu, yang paling seragam dalam jawaban adalah persoalan dana, bujet, dan atau pembiayaan sekolah yang harus dibenahi terlebih dahulu jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Berdasarkan pengamalan mengajar dan bacaan yang saya peroleh, untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan, kita harus memperhatikan beberapa unsur penting pada internal sekolah itu sendiri. Beberapa kajian tentang effective schools atau excellent school, Samomons et all (1995) menyebutkan beberapa persyaratan atau kondisi yang diperlukan untuk suatu sekolah bermutu, antara lain kepemimpinan profesional seorang kepala sekolah, terutama menyangkut peran yang dimainkan, gaya kepemimpinan, pemahaman, dan kemampuan menerjemahkan visi, nilai, dan tujuan sekolah dalam program atau aksi, serta responsif terhadap perubahan.
Selain kepemimpinan, kesamaan pandangan seluruh komponen sekolah terhadap visi dan tujuan bersama juga sangatlah penting. Civitas academica sekolah harus sepakat (komitmen) terhadap tujuan dan nilai-nilai yang menjadi landasan sekolah.
Atas dasar persyaratan di atas, maka rumusan peningkatan pendidikan di tingkat sekolah haruslah didasarkan pada program pemberdayaan mutu sekolah yang memiliki strategi intervensi yang membumi dan sesuai dengan kemampuan sekolah itu sendiri. Bentuk strategi intervensinya dapat kita identifikasi dari beberapa best practice yang dilakukan pihak sekolah, antara lain adalah:
Menumbuhkan kesadaran bahwa sekolah adalah bentuk pelayanan pemerintah terhadap masyarakat (opening the school to serve the community). Dalam banyak kasus, sekolah bagi para guru kebanyakan adalah tempat bekerja semata. Orientasi pada kerja semata akan membawa sikap apatis guru karena mereka orientasi pelayanan mereka juga tak lebih dan tak kurang sama seperti pegawai negeri lainnya.
Salah satu yang selama ini terlupakan atau sengaja dilupakan oleh pihak sekolah adalah menyertakan orang tua atau masyarakat dalam proses pembelajaran. Kerja sama sekolah dan orang tua merupakan strategi yang baik untuk digunakan dalam upaya peningktan mutu pendidikan (sekolah). Partisipasi masyarakat diyakini sebagai prasyarat untuk mewujudkan pelayanan pendidikan yang baik dan amanah.
Partisipasi masyarakat tersebut dapat dirumuskan ke dalam empat hal, yakni memberi nasihat atau masukan (advisory); memberi dukungan dan bantuan kepada sekolah (supporting); menjembatani atau memfasilitasi kerja sama antara sekolah dengan masyarakat (mediating); dan melakukan pengawasan terhadap pelayanan pendidikan yang disediakan sekolah (akuntabilitas sekolah).
Dalam kerangka partisipasi ini, institusi masyarakat (media, civil society, komite sekolah) dapat memberikan kontribusi dalam kerangka empat fungsi pokok. Kelembagaan komite sekolah merupakan penjelmaan dari kesadaran kerelawanan masyarakat untuk berkontribusi terhadap penciptaan dan perbaikan masyarakatnya sendiri. Pendekatan keempat ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan peran dan fungi wadah partisipasi masyarakat.
Yang terakhir, ada baiknya jika sekolah melengkapi diri dengan standar perpustakaan sekolah yang memadai, bukan hanya untuk siswa, malainkan juga untuk guru. Di lingkungan tempat saya bekerja, masih banyak dijumpai sekolah yang tak memiliki perpustakaan yang layak. Apalagi jika dilihat dari kemampuan guru dalam membaca, sungguh ironi dan menyedihkan. Selain rendahnya minat baca, kemampuan guru untuk menggunakan media belajar, seperti komputer pun sangat menyedihkan. Mampukah pemerintah melakukan assessment kecil untuk mengukur kemampuan guru dalam mengoperasikan komputer? Padahal, semangat learn 21st century skills semestinya sudah mulai tumbuh di lingkungan guru-guru kita. Bukan hanya sekadar mendengar ungkapan Tukul dalam Bukan Empat Mata, "kembali ke laptop", sementara guru-guru kita masih asing dan terbelakang dengan laptop.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment